Dear cantik,
Ini adalah surat terakhirku yang aku kirim untukmu. Entahlah,
apa kamu menghitungnya atau tidak. Aku hanya berharap kamu membacanya
walau kemudian, mungkin, kamu membuangnya.
Tadi siang, aku lihat matamu sembab. Sinar matamu yang indah
terlihat redup dan tidak lagi memancarkan gairah hidupmu yang membara.
Senyummu pun tak banyak kau umbar, hanya sedikit senyum tipis muncul
dari bibir mungilmu yang merah kecokelatan ketika kamu menatap wajah
orang – orang yang menyapamu.
Aku sedih melihatmu seperti itu, hatiku sakit dan otakku berdenyut –
denyut kencang. Ada apa denganmu? Andai saja aku tahu masalahmu, aku
pasti membantumu. Tak peduli apa pun yang harus kukorbankan, aku rela
melakukannya. Tapi, itu semua sulit terjadi karena aku sama sekali tak
tahu masalah apa yang sedang kau hadapi kali ini. Kamu pun tak mungkin
bercerita padaku karena kamu tak tahu siapa aku sebenarnya.
Ya, kamu boleh sebut aku pengecut karena tak mau menampakkan batang
hidungku di hadapanmu. Tapi, ada yang harus kamu ketahui, aku seperti
ini karena aku bukan laki – laki seperti yang kamu harapkan. Jika kita
bertemu dan saling mengenal, cepat atau lambat, aku pasti akan
mengecewakanmu. Aku juga tahu, surat – surat yang selalu aku kirim
selama ini telah membuatmu mulai menyukaiku atau – lebih tepatnya –
menyukai tulisan dalam surat – suratku dan mulai mencari tahu siapa aku.
Aku sangat mengenalmu, Cantik. Bahkan, aku lebih mengenalmu daripada
mengenal diriku sendiri. Memang terdengar sedikit ekstrem, tapi itu
semua benar karena aku begitu memujamu. Aku bukan hanya memujamu,
melainkan juga menyayangimu. Menyayangimu melebihi aku menyayangi diriku
sendiri. Karena itu, aku melakukan apa saja yang aku bisa lakukan untuk
membantumu walau tanpa sepengetahuanmu.
Kamu memang tidak mengenalku walau aku sangat mengenalmu. Meskipun
begitu, kita memiliki banyak kenangan yang mungkin tidak pernah dimiliki
orang lain, selain kita berdua. Kamu ingat, ketika buku catatan berisi
curahan hatimu yang sudah kamu isi sejak SMP terjatuh ke dalam selokan
besar di belakang kampus? Saat itu, kamu hanya bisa menatap sedih dan
berusaha menahan air mata yang hampir keluar dari matamu yang indah.
Kamu langsung pulang ke rumah, padahal masih ada satu mata kuliah yang
harus kamu ikuti waktu itu. Aku, yang tidak tahan melihat kesedihan di
wajahmu, langsung membenamkan kakiku ke dalam selokan itu. Aku meraba –
raba ke dalam dasarnya, berusaha mencari buku tebal berwarna hijau tua
itu.
Aku memang cukup lama berada di dalam selokan itu karena bukumu tak
juga ditemukan. Beberapa orang yang melihatku mengira aku sedang
depresi, tapi aku tidak peduli sama sekali. Kususuri selokan yang
panjang itu tanpa menghiraukan pakaianku yang kotor karena air selokan
yang tercampur dengan Lumpur. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan,
akhirnya kutemukan buku kesayanganmu itu.
Di rumah, kukeringkan lembar demi lembar ratusan kertas bukumu
menggunakan pengering rambut. Aku lakukan dengan hati – hati agar tidak
robek. Butuh waktu berjam – jam untuk membuatnya benar – benar kering.
Peluhku pun jatuh tak terelakkan lagi, tapi aku benar – benar tulus
melakukannya. Aku bahagia bisa melakukannya untukmu karena aku selalu
ingin melakukan sesuatu yang berarti untukmu, Cantik.
Keesokan harinya, tepatnya, pukul enam lewat dua puluh menit, aku
sudah sampai di depan rumahmu. Buku hijaumu yang sudah kubungkus rapi
dengan bungkus kado bercorak bunga anggrek dan kurekatkan amplop kecil
berisi kertas dengan tulisan : “Untuk Reyna. Jangan ceroboh lagi!”.
Amplop itu kuletakkan di depan pintu rumahmu. Lalu, aku menekan bel
rumahmu dan langsung berlari ke belakang pohon beringin yang ada di
seberangnya. Beberapa detik kemudian, ibumu keluar dan mengambil
bingkisan itu. Selang satu menit kemudian, aku mendengar sayup – sayup
teriakan bahagiamu. Lega aku mendengarnya, hanya itu yang ingin kudengar
darimu dan aku berhasil. Saat itu, aku terus mengucap rasa syukur
kepada Tuhan.
Cantik, seberapa besar masalahmu kali ini, tolong untuk selalu ingat
pesanku yang pernah kutulis pada surat yang pertamaku itu : sempatkanlah untuk
tertawa dalam satu hari meskipun Cuma sedikit. Dengan demikian, energi
positif akan mengalir dalam tubuhmu dan akan membuat jiwa dan pikiranmu
lebih tenang. Kamu pun akan lebih siap mengatasi segala masalah dengan
baik. Aku masih ingat kejadian yang kau alami waktu itu. Dengan mata
kepalamu sendiri, kamu melihat laki – laki yang sudah menjadi pacarmu
selama satu setengah tahun merangkul mesra sorang wanita bertubuh
jangkung, berhidung mancung. Saat itu, kamu menangis di pelukan
sahabatmu. Aku pun berpikir, apa yang bisa aku lakukan untukmu?
Memperbaiki hubungan kalian yang sudah berantakan, jelas aku tidak
bisa. Lagi pula, aku tidak rela kamu meneruskan hubungan dengan laki –
laki berengsek seperti dia. Akhirnya, aku hanya focus untuk menenangkan
dirimu dulu, berusaha menghibur walau tidak secara langsung, agar kamu
tidak terus larut dalam kesedihan. Kuputuskan untuk mengirimmu sepuluh
buku kumpulan cerita lucu dari penulis dan penerbit yang berbeda, dengan
ketebalan yang berbeda pula. Kukirimkan bersamaan dengan surat pertamaku. Dan, aku berhasil lagi. Kulihat kamu membaca salah satu
bukunya di sela – sela menunggu jam kuliah di kampus. Sesekali, kamu
tertawa geli, bahkan tak jarang kamu pun sampai terpingkal – pingkal.
Berangsur – angsur, kesedihanmu pun hilang dan kamu berhasil melupakan
laki – laki buaya itu. Oh, ya, selain itu, aku juga melakukan sesuatu
yang aku sendiri tidak menduganya, tapi kamu jangan marah, ya! Aku
memberikan hadiah satu pukulan keras tepat di wajah laki – laki yang
pernah kamu panggil “Sayang” itu dan dia KO dengan keadaan tulang hidung
yang mungkin patah.
Di surat yang terakhir ini, entah kenapa aku ingin menceritakan
kenangan – kenangan lainnya yang mungkin tidak kamu sadari. Namun, aku
tidak bisa menuliskan semuanya karena aku sudah tidak seperti dulu.
Tubuhku kini sudah lelah menopang segala keinginanku. Aku sakit.
Beberapa organ tubuhku perlahan – lahan hancur digerogoti penyakit yang
kuidap ini. Tadi siang, mungkin, adalah hari terakhir aku bisa menatap
wajahmu – walau hanya dari balik jendela mobil yang kubuka setengah
kacanya. Untung aku punya kakak perempuan yang baik, yang mau
mengantarku melihat wajah cantikmu untuk kali terakhir.
Sekarang, kamu sedang membaca surat terakhirku yang diantar langsung
oleh kakakku kepadamu. Kakakku pasti memberikan surat ini sambil
menangis, kan? Ya, dia mirip seperti kamu, mudah mengeluarkan air mata.
Cantik, terima kasih karena kamu mau mengikuti peraturannya untuk tidak
membuka amplop berwarna merah muda sebelum kamu selesai membaca surat
ini.
Kamu tidak mengenalku, tapi tenang saja, aku tidak akan setega itu
membiarkanmu penasaran sepanjang hidupmu. Sekarang, silakan kamu buka
amplop warna merah jambu itu. Kamu akan tahu siapa aku, tapi kamu tidak
akan lagi bertemu dengan laki – laki di foto yang ada dalam amplop itu.
Kini, aku sudah pergi ke tempat di mana aku tidak akan pernah bisa
mengirim surat cinta untukmu lagi. Di sana, aku hanya bisa melihatmu
membaca surat ini dari alam tak terjamah.
Jangan menangis, Cantik!
Aku tidak akan tenang melihatmu seperti
ini. Yakinlah bahwa kelak kita akan bertemu walau hanya di alam
keabadian dan saat itu kamu akan tersenyum untukku.
Selesai